Social Icons

.

Saturday 14 June 2014

Catatan Ringkas Sejarah Palang Merah Remaja (1) Periode 1950-an: Palang Merah Pemuda ke Korps PMR


Kegiatan Palang merah Pemuda di Jakarta 1950-an (sumber Foto: Majalah Palang Merah 1950-an)
Sewaktu saya duduk di bangku SMA saya memilih mengikuti kegiatan ekstra kurikuler Palang Merah Remaja. Yang saya tahu waktu itu kami dilatih PPPK, materi ilmu kesehatan dan kepalangmerahanan. Setiap setahun paling tidak PMR Sekolah saya ikut lomba tingkat kecamatan, tingkat wilayah hingga tingkat DKI Jakarta. Pada msa itu yang saya tahu PMR atau Junior Red Cross lebih dahulu ada di negara-negara Eropa, Amerika dan Australia sewaktu Perang Dunia I berkecamuk. Baru setelah kuliah saya iseng-iseng menelusuri cika-bakal PMR di berbagai perpustakaan.
Di Indonesia cikal bakal PMR adalah Palang Merah Pemuda. Secara resmi Palang Merah Pemuda disebutkan bahwa didirikan pada 1 Maret 1950 oleh Siti Dalima. Ketika didirikan terdapat 15 cabang dan 2047 anggota. Tujuan pendirian Palang Merah Pemuda ialah menyebar benih kepalangmerahan di kalangan pemuda dan pemudi Indonesia di bawah umur 18 tahun. Namun keikutsertaan remaja dalam palang merah sudah terjadi sejak Perang Kemerdekaan. Bahkan sejumlah remaja menjadi korban.
Dalam buku Dr. AH Nasution, Sekitar Perang kemerdekaan IV : Agresi Militer I, Bandung: Angkasa 1978 disebutkan bahwa organisasi Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) juga punya unit Palang Merah Pemuda. Ada juga Palang Merah Pemuda yang bekerja di PMI. Ketika terjadi agresi, anggota PMP ini hilir mudik membawa korban luka dalam pertempuran ke Kota Malang. Ketika Malang jatuh ke tangan Belanda pada 31 Juli 1947, tentara KNIL dituturkan membunuh dua orang anggota PMP yang terperangkap di RS Celaket.
Kegiatan PMP pada 1950 menurut buku Sejarah Pembentukan PMI 1945-1953, terbitan PMI Jakarta, 1953 membuat barang kerajinan untuk ditukarkan dengan barang kerajinan yang dibuat sesama anggota Palang Merah Pemuda dari negara lain. Pada waktu meletus peristiwa Republik Maluku Selatan, anggota PMP memberikan barang-barang ini kepada anak-anak yang tinggal di Ambon dan sekitarnya. Mereka juga membantu menyalurkan susu yang disumbangkan UNICEF kepada anak-anak sekolah. Pada masa itu kegiatan PMP tidak berbasis di sekolah-sekolah seperti sekarang, tetapi membentuk komunitas- komunitas, seperti halnya juga kegiatan kepanduan masa itu.
Dalam Majalah Palang Merah Indonesia edisi 3 Tahun I Juni 1950 disebutkan perhimpunan Palang Merah Pemuda melaksanakan pekerjaannya berdasarkan azas-azas yang sama. Sekalipun sesuatu negara leluasa menyesuaikan azas-azas ini dengan keadaan dalam negara tersebut. Di antaranya adalah anggota PMP harus mengetahui pemeliharaan kesehatan. Mulai dari menjaga kesehatan diri,mandi dua kali sehari, sikat gigi pagi dan sore, cuci tangan dan gunting kuku (pada masa itu masih banyak yang tidak mengetahui), hingga bercacar untuk mencegah penyakit cacar (hingga 1970-an penyakit cacar masih menjadi wabah di beberapa tempat di Indonesia).
Yang menarik adalah anggota PMP diminta ikut membagikan buah-buahan dan susu ke anak sekolah, membuat taman bacaan, hingga mengunjungi dan menghibur anak-anak yang sedang dirawat di rumah sakit, sanatorium atau institut anak-anak buta dan cacat. Selain latihan praktek PPPK, anggota PMP juga ikut terlibat kalau terjadi bencana alam. Persahabatan internasional juga disinggung karena akan membuat anak sekolah bisa mengenal anak-anak dari negera lain lewat album yang disusun, boneka-boneka yang diberikan apakaian asli negera setempat yang saling dipertukarkan. Bahkan melalui pertukaran lagu-lagu melalui piringan hitam.
Kegiatan PMP di berbagai daerah cukup variatif dan menarik. PMP Cabang Yogyakarta seperti yang diungkapkan dalam Majalah PMI Tahun II No.9 September 1951. Pada 9-27 Juli 1951 PMP Yogyakarta mengadakan propaganda keliling memutar film mengenai kesehatan, sosial, pendidikan hingga film berita dalam dan luar negeri. Mereka juga mengunjungi rumah yatim Wiloso Prodjo di Kabupaten Bantul, Rumah Yatim Muhamadyah di Godean, mengunjungi sanatorium Pakem, serta sebuah rumah yatim lainnya di Kota Gede.
Palang Merah Pemuda Cabang Bandung bahkan sudah terlibat dalam penanggulangan masalah pengungsi akibat Pemberontakan Darul Islam. Misalnya pada Mei 1951 mereka mengumpulkan pakaian layak pakai untuk dibagikan ke para pengungsi di Majalaya. (Majalah PMI, Juni 1951). Pada Maret 1952 anggota PMP Bandung ini juga ikut serta dalam perataan Bandung Kota Kembang. Anggota PMP membantu membagikan bunga sambil membawa kaleng-kaleng untuk dana PMI (Majalah PMI, Tahun ke III, No 4, April 1952).

Aksi sosial Palang Merah Pemuda Bandung pada 1950-an (Kredit Foto:Majalah PMI, 1950-an)
Pada pertengahan 1952 anggota PMP Cabang Jakarta dipimpin langsung oleh Siti Dalima ikut bersama rombongan pemerintah mengunjungi Pulau Panggang, di Kepulauan Seribu. Mereka memberikan give noxes kepada anak-anak di kepulauan itu (Majalah PMI, Tahun III/edisi 7, Juli 1952) . Pada 1950-an karena keterbatasan transportasi masyarakat Pulau Seribu termasuk masyarakat terpencil. Majalah PMI juga beberapa kali mengungkapkan Pulau Endam yang menjadi tempat penampungan anak-anak terlantar dari Jakarta.
Aktifis PMI waktu itu, Roswita Djajadiningrat dalam tulisannya ”Fungsi Sosial dalam Gerakan-gerakan Pemuda” menyebutkan bahwa anggota PMP sebaiknya juga mengadakan kegiatan perkemahan seperti halnya kepanduan. Dia juga meminta anggota PMP dapat memberi pertolongan kepada sesama manusia di mana pun berada, seperti di rumah, sekolah, bahkan di kawasan pertokoan. “Pekerjaan sosial tidak usaha mempersoalkan aliran politik yang diikutinya,” kata Roswita.
Aktifitas Palang Merah Pemuda menarik perhatian luar negeri. Pada 13-25 Juli 1954 atas undangan Liga Perhimpunan Palang Merah Nasional di Genewa, PMP Indonesia menghadiri Stuide Centrum Junior Red Cross di Istambul, Turki. Yang diutus Nona Sunarti dari Palang Merah Indonesia Yogyakarta. Bersama wakil-wakli adri 14 negara lainnya dibahas perkembangan baru PPPK, Pernafasan Buatan, bagaimana bertindak bila terjadi bencana alam, serta temu pikiran antara organisasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (Pikiran Rakjat, 16 Juni 1954).
Pelatihan Korps Palang Merah Remaja
Star Weekly edisi 508, 24 September 1955 menyebutkan ada pelatihan sejumlah pemuda dan pemudi di kawasan Cillitan Jakarta. Pada dada sebelah kiri tercantum sehelai karton berwarna hijau-putih, kuning-putih atau putih-putih seluruhnya. Di atas karton-karton itu terlihat tulisan dalam huruf cetak dengan tinta hitam. Mereka seperti mengikuti pelonco tetapi usianya melampaui batas umurnya. Mereka adalah kader-kader Korps Sukarela dan Korps Remaja Palang Merah Indonesia mengikuti latihan selama 10 hari dalam pusat latihan selama 10 hari dalam pusat latihan dalam Pusat pendidikan Kesehatan Lapangan dari Angkatan darat. Yang memakai warna hijau putih dari Korps remaja dan yang Kuning-Putih dari Korps Sukarela dan yang putih-putih adalah keduanya.
Hingga 1955 Korps Remaja PMI mempunyai anggota sekitar 7000 anggota di seluruh Indonesia. Mereka berasal dari Sekolah Rakyat hingga Sekolah Lanjutan Atas. Ada juga dari kalangan mahasiswa yang membantu. Batas umur untuk anggota Korps Remaja ialah 18 tahun, sesudah itu mereka beralih ke Korps Sukarela atau tetap membantu memimpin Korps Remaja. Pendidikan atau pelatihan Korps Remaja bertujuan menimbulkan kesadaran akan pekerjaan kemanusiaan, rasa suka menolong, pengetahuan fundementil mengenai pekerjaan kepalangmerahan.
Di Jakarta kegiatan membantu pengumpulan uang-fundraising- untuk PMI. Caranya dengan meneirma upah dari pekerjaan mereparasi gedung sekolah. Pekerjaan yang layak untuk penduduk, misalnya membersihkan rumah dan hasilnya disumbangkan untuk PMI. Mereka juga melaksanakan pemberian hiburan kepada pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit dan sanatoria dengan pertunjukkan sandiwara atau lelucon. Mereka juga mengadakan hubungan dengan sesama anggota palang merah remaja dari negara lain dengan tukar-menukar foto-album .
Pusat latihan ini dibuka secara resmi pada 10 September 1955 dalam rangka peringatan hari ulang tahun PMI ke 10. Jumlah kader Korps sukarela hingga 1955 skeitar 250 orang dan dalam kesempatan itu juga dilatih 30 orang kader yang diberikan kecakapan mengatur dapur umum, pengungsian, pengangkutan, pemindahan darah. Tentunya juga Pertolongan Pertama pada Kecelakaan.”Minat menjadi pekerja sukarela besar tetapi belum ada kader,maka belum dapat dikembangkan. Minat pada kaum wanita juga besar, tetapi sayang kurang bulat,” ujar Paramita Abdurrahman, Sekjen PMI Pusat.
Di antara kader wanita yang disebutkan dalam artikel itu adalah Murniati,kader dari Jakarta. Dia bergabung dalam koprs tersebut sejak November 1953, pada angkatan pertama. Murniati ini dituturkan sudah mampu memberikan pertolongan korban-korban kebakaran di Jakarta. Dia mengakui bahwa minat kaum wanita di Jakarta belum besar. Mereka tidak diberikan penggantian kerugian kalau mengikuti kegiatan, tetapi kalau bertugas di luar daerah diberi uang saku selama 10 hari. Biaya perjalanan ditanggung setiap cabang.
Hadi dari Klaten pada Star Weekly menceritakan bahwa jumlah Korps Sukarela di Klaten sebetulnya sekitar 450 orang. Namun yang dapat dikerahkan 25 orang Mereka sudah terlibat dalam pekerjaan memberikan pertolongan kepada korban-korban Merapi dan banjir. Korps Palang Merah Remaja sendiri belum ada di Klaten. Sebaliknya di Lombok,Korps Sukarela tidak ada, yang ada malah Korps Palang Merah Remaja. Di antaranya ada yang datang dari kalangan wanita.